Penelusur

Minggu, 30 Mei 2010

Al-Gazali

Putra Jagat Online: Nama lengkap Al-Gazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.

Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.

Sifat Kepribadiannya

Imam al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau memulai pengembaraan, beliau telah mempelajari karya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali telah mengembara selama 10 tahun. Ia telah mengunjungi tempat-tempat suci di daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil lagi beliau telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadat, wara, zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan, kemegahan dan mencari sesuatu untuk mendapat ridha Allah SWT.

Pendidikannya

Pada tingkat dasar, beliau mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa orang guru karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini membolehkan beliau menguasai Bahasa Arab dan Parsi dengan fasih. Oleh sebab minatnya yang mendalam terhadap ilmu, beliau mula mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih,filsafat, dan mempelajari segala pendapat keeempat mazhab hingga mahir dalam bidang yang dibahas oleh mazhab-mazhab tersebut. Selepas itu, beliau melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di Naisabur. Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, beliau telah dilantik menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah. Kemudian beliau dilantik pula sebagai Naib Kanselor di sana. Ia telah mengembara ke beberapa tempat seperti Mekkah,Madinah,Mesir dan Jerusalem untuk berjumpa dengan ulama-ulama di sana untuk mendalami ilmu pengetahuannya yang ada. Dalam pengembaraan, beliau menulis kitab Ihya Ulumuddin yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah.


Karya-Karyanya

Dibidang Ilmu Teologi
  • Al-Munqidh min adh-Dhalal
  • Al-Iqtishad fi al-I`tiqad
  • Al-Risalah al-Qudsiyyah
  • Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din
  • Mizan al-Amal
  • Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah[1][2]
Ilmu Tasawuf
  • Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama)[3], merupakan karyanya yang terkenal
  • Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)[4]
  • Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)
Ilmu Filsafat
  • Maqasid al-Falasifah
  • Tahafut al-Falasifah,[5] buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence).
Ilmu Fiqih
  • Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul
Ilmu Mantik (Ilmu Logika)
  • Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge)
  • al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance)
  • Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic).

Mazhab Dan Aqidah Al-Gazali

Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”

Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.

Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.

Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).

Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:

Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.

Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).

Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).

Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”

Komentar Para Pengeritiknya

Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).

Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).

Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.

(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.

(18) Al Wasith.

(19) Al Basith.

(20) Al Wajiz.

(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.

Dialog Al-Gazali Dengan Santrinya

Suatu hari, Imam Al-Ghazali berkumpul dengan
murid-muridnya lalu beliau bertanya :

Imam Ghazali = ” Apakah yang paling dekat
dengan diri kita di dunia ini ?”

Murid 1 = ” Orang tua “
Murid 2 = ” Guru “
Murid 3 = ” Teman “
Murid 4 = ” Kaum kerabat “

Imam Ghazali = ” Semua jawaban itu benar. Tetapi
yang paling dekat dengan kita ialah MATI. Sebab
itu janji Allah bahwa setiap yang bernyawa pasti
akan mati ( Surah Ali-Imran :185)….

Imam Ghazali = ” Apa yang paling jauh dari kita di
dunia ini ?”

Murid 1 = ” Negeri Cina “
Murid 2 = ” Bulan “
Murid 3 = ” Matahari “
Murid 4 = ” Bintang-bintang “

Iman Ghazali = ” Semua jawaban itu benar. Tetapi
yang paling benar adalah MASA LALU.
Bagaimanapun kita, apapun kenderaan kita, tetap
kita tidak akan dapat kembali ke masa yang lalu.
Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini, hari
esok dan hari-hari yang akan datang dengan
perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama”.

Iman Ghazali = ” Apa yang paling besar di dunia
ini ?”

Murid 1 = ” Gunung “
Murid 2 = ” Matahari “
Murid 3 = ” Bumi “

Imam Ghazali = ” Semua jawaban itu benar, tapi
yang besar sekali adalah HAWA NAFSU (Surah Al
A’raf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu
kita, jangan sampai nafsu kita membawa ke
neraka.”

Imam Ghazali = ” Apa yang palin berat didunia “

Murid 1 = ” Baja “
Murid 2 = ” Besi “
Murid 3 = ” Gajah “

Imam Ghazali = ” Semua itu benar, tapi yang
paling berat adalah MEMEGANG AMANAH (Surah
Al-Azab : 72 ). Tumbuh-tumbuhan, binatang,
gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika
Allah SWT meminta mereka menjadi khalifah
(pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan
sombongnya berebut-rebut menyanggupi
permintaan Allah SWT sehingga banyak manusia
masuk ke neraka karena gagal memegang
amanah.”

Imam Ghazali = ” Apa yang paling ringan di dunia
ini ?”

Murid 1 = ” Kapas”
Murid 2 = ” Angin “
Murid 3 = ” Debu “
Murid 4 = ” Daun-daun”

Imam Ghazali = ” Semua jawaban kamu itu benar,
tapi yang paling ringan sekali didunia ini adalah
MENINGGALKAN SOLAT. Gara-gara pekerjaan
kita atau urusan dunia, kita tinggalkan solat “

Imam Ghazali = ” Apa yang paling tajam sekali
didunia ini “

Murid- Murid dengan serentak menjawab = “
Pedang “

Imam Ghazali = ” Itu benar, tapi yang paling tajam
sekali didunia ini adalah LIDAH MANUSIA. Karena
melalui lidah, manusia dengan mudahnya
menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya
sendiri “.

Perdebatan Al-Gazali Dan Ibnu Rusdi

Kesalahan fatal yang dilakukan oleh Al Ghazali dalam
Tahafut al Falasifah adalah membeberkan perdebatan
filsafat kepada kalangan awam. Akibatnya bukan saja
merusak cara keberagamaan mereka yang bersifat
retorik, tapi juga menodai pemikiran filosof yang
didasarkan pada logika demonstratif

Memperbincangkan kembali tentang perdebatan sengit
antara dua tokoh besar Islam, Al Ghazali dan Ibnu
Rushd, tak pernah kehilangan daya tariknya. Hal itu
pula yang menarik Jaringan Islam Liberal (JIL) untuk
mengangkat karya-karya Ibnu Rushd sebagai bahan
pengajian Ramadlan tahun ini. Ada tiga kitab Ibnu
Rushd yang akan dibedah dalam pengajian itu, yaitu
Tahafut al-Tahafut, Fashl al-Maqal fima bain
al-Hikmati wa al-Syariati min al-Ittishal,dan Bidayah
al-Mujtahid. Pengajian pertama dibuka pada malam
selasa 10/10 lalu dengan menghadirkan dua pembicara,
yakni Mohamad Guntur Romli, dari Jaringan Islam
Liberal dan mahasiswa Filsafat Al-Azhar Kairo dan Dr.
Zainun Kamal, dosen filsafat Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Keduanya mencoba membedah karya
monumental Ibnu Rushd, Tahafut al-Tahafut.

Ibnu Rushd adalah salah seorang filosof muslim yang
hidup pada abad XII. Ia dikenal sebagai seorang
penyelamat ruh filsafat yang telah hampir mati
dihantam oleh Al Ghazali melalui karyanya Tahafut Al
Falasifah. Ibnu Rushd, melalui bukunya Tahafut
al-Tahafut kembali menyerang Al Ghazali yang
dianggapnya telah merancukan pemikiran filsafat.
Perang pena antar dua tokoh besar Islam ini menurut
Guntur bukan hanya terjadi pada tulisan monumentalnya
Tahafut al-Tahafut. Sebelumnya Ibnu Rushd telah
beberapa kali mengkritik Al Ghazali dalam beberapa
tulisannya. Kitab Fashl al Maqal, misalnya, merupakan
serangan balik atas kitab Al Ghazali Faishal al
Tafriqah bain al Islam wal al Zindiqah. Begitu pula
kitabnya Bidayah al-Mujtahid juga merupakan tandingan
atas kitab Al Ghazali, Bidayah al-Hidayah.

Ambisi Ibnu Rushd dalam menyerang Al Ghazali ini
disinyalir oleh Guntur sebagai sebuah pertarungan
politis. Hal itu bisa dilihat dari biografi Ibnu Rushd
yang hidup pada masa dinasti Muwahhidin yang sangat
mengagungkan filsafat. Sebelum dinasti Muwahidin,
Cordova dikuasai oleh dinasti Murabithin. Dinasti ini
sangat membenci filsafat dan mengedepankan pandangan
fikih Dzahiri. Pada masa ini pula imam Al Ghazali
menghabiskan hidupnya. Sementara ketika kepemimpinan
negara diambil alih oleh Ibnu Tumurt, filsafat mulai
dikembangkan kembali. Pertarungan politis dan
ideologis di level pemerintahan itu sangat berpengaruh
pada kehidupan Ibnu Rushd. Hal itu bisa dimaklumi
karena Ibnu Rushd besar di lingkungan pemerintah.
Kakek dan ayahnya adalah mantan hakim agung di
Cordova. Bahkan ketika dinasti Muwahhidin di bawah
kepemimpinan Abu Ya'kub, Ibnu Rushd juga menduduki
tiga jabatan penting dalam pemerintahan, yaitu sebagai
ketua hakim agung (qadhi al-qudhat), dokter istana,
dan penasehat raja. Sebagai seorang negarawan yang
loyal, Ibnu Rushd tentu merasa berkepentingan untuk
membela ideologi negara, papar aktivis Jaringan Islam
Liberal lebih lanjut.

Sementara itu DR. Zainun Kamal yang merupakan pakar
pengkaji Tahafut al Tahafut menjelaskan kerancuan Al
Ghazali dalam Tahafut al Falasifah. Menurutnya klaim
Al Ghazali atas kerancuan filsafat semata-mata karena
kesalahpahamannya dalam memahami filsafat. Dalam
mempelajari filsafat, Al Ghazali disinyalir tidak
mengambil sumber primer. Para filosof yang dikafirkan
Al Ghazali karena mengatakan kekadiman alam,
keterbatasan pengetahuan Tuhan pada yang universal,
serta kebangkitan jasmani, sebenarnya mendasarkan
logikanya pada filsafat Aristoteles. Sementara Al
Ghazali tidak membaca karya-karya Aristo, tandas
Zainun. Ia hanya membaca buku-buku terjemahan Aristo
yang sudah banyak mengalami distorsi dari kalangan
kristiani. Atau bahkan ia hanya membaca buku-buku
Aristotelian yang telah ditulis ulang oleh para
filosof muslim. Sehingga pemikiran itu sudah banyak
bercampur dengan pemikiran-pemikiran Islam, khususnya
filsafat paripatetik. Inilah kerancuan Al Ghazali
yang ingin ditunjukkan oleh Ibnu Rushd dalam Tahafut
al Tahafut, jelas Dosen filsafat UIN, Jakarta.

Kitab setebal seribuan halaman itu menurut Guntur
Ramli, mengomentari dua puluh masalah tentang
metafisika dan ketuhanan yang dibahas Al Ghazali dalam
Tahafut al Falasifah. Tujuh belas di antaranya,
menurut Al Ghazali menyebabkan orang yang
mempelajarinya menjadi zindik. Sementara tiga masalah
yang lain menyebabkan orang menjadi kafir. Tiga
masalah yang dimaksud adalah kekadiman alam,
keterbatasan ilmu Tuhan pada hal yang universal, dan
kebangkitan jasmani pada hari kiamat.

Takfir Al Ghazali atas para filosof itu, menurut
aktvis Jaringan Islam Liberal, Guntur Ramli, tidak
fair. Pasalnya pendapat para filosof tentang masalah
metafisika dan ketuhanan di atas didasarkan pada
logika filsafat. Sementara oleh Al Ghazali dipahami
dengan logika teologis. Perdebatan para filosof itu
adalah perdebatan filosofis, tetapi Al Ghazali
memahaminya dengan pemahaman teologis. Inilah yang
akhirnya menimbulkan kesalahpahaman terhadap
filsafat, tegasnya.

Oleh karena itu Ibnu Rushd dalam kitabnya yang lain
(Fashl al Maqal) menegaskan bahwa perdebatan atau
pembicaraan filsafat tidak bisa disebarluaskan kepada
sembarang orang. Hal itu bisa menimbulkan fitnah dan
klaim takfir. Ibnu Rushd menggolongkan masyarakat pada
tiga level. Pertama, orang awam, yaitu orang-orang
yang hanya bisa memahami teks agama secara retorik dan
lahiriah saja. Kedua, orang khawas, yaitu orang-orang
yang mampu memahami makna tersirat dari sebuah teks.
Mereka inilah yang dimaksud sebagai filosof atau ahli
hikmah. Golongan ini mampu memahami mawjudat (segala
ciptaan Tuhan yang ada) dengan pendekatan burhani
(demonstratif). Sementara di antara keduanya terdapat
mereka yang dianggap sebagai mutakallimun, yaitu
orang-orang yang memahami teks atau maujudat dengan
pendekatan jadali (dialektis).

Menurut Ibnu Rushd masing-masing golongan tersebut
tidak boleh melampaui kapasitasnya. Kesalahan fatal
yang dilakukan oleh Al Ghazali dalam Tahafut al
Falasifah adalah membeberkan perdebatan filsafat
kepada kalangan awam. Akibatnya bukan saja merusak
cara keberagamaan mereka yang bersifat retorik, tapi
juga menodai pemikiran filosof yang didasarkan pada
logika demonstratif. Ibnu Rushd mentamsilkan bahwa
pemikiran bisa menjadi makanan bagi seseorang, namun
bisa menjadi racun bagi yang lain. Jika seseorang
tidak bisa membedakan antara racun dan makanan,
berarti ia adalah orang bodoh (al-jahil ). Namun jika
ia telah mengetahui hal itu racun dan tetap
memberikannya kepada orang lain sebagai makanan,
maka dia adalah orang jahat (al-syirrir).

Perdebatan filsafat Islam tentang ketuhanan dan
persoalan metafisika, dinilai oleh Dawam Raharjo,
intelektual muslim dan pendiri LSAF (Lembaga Studi
Agama dan Filsafat), yang hadir dalam diskusi
tersebut, sebagai pemikiran yang usang dan tidak
relevan untuk konteks sekarang. Oleh karena itu sudah
sejak dulu, saya tinggalkan filsafat Islam,
tandasnya. Hal ini berbeda dengan Barat yang
pemikiran filsafatnya bisa memengaruhi perkembangan
sain dan teknologi yang pesat.

Pernyataan Dawam itu diamini oleh Guntur. Menurutnya
tema-tema metafisika dan ketuhanan yang diangkat oleh
Ibnu Rushd sudah sangat usang dan sudah tidak relevan
lagi. Bahkan logika Aristoteles yang dikenal logika
klasik yang sangat diagungkan Ibnu Rushd pun sudah
banyak dibantah dan ditolak oleh filsafat modern.
Lalu apa yang tersisa dari pemikiran Ibnu Rushd untuk
kita sekarang?, tanya Guntur. Menurut saya adalah
masalah rasionalitas dan penghargaannya pada akal
(al-ittijah al-aqlany ), dan metode kritisismenya
(al-manhaj al-naqdy) yang bisa dikembangkan dari
pemikiran Ibn Rusyd.

Hal ini dibantah oleh Doktor dari UIN Jakarta.
Menurut saya, yang menolak filsafat Ibnu Rushd adalah
orang awam, tegas Zainun yang disambut oleh gelak
tawa hadirin. Barat bisa seperti sekarang itu
sebetulnya banyak terinspirasi oleh Ibnu Rushd.
Karya-karyanya banyak diterjemah dan dipelajari di
sana. Bahkan hingga ada Avveroisme Latin dan
sebagainya. Dan yang harus diingat bahwa buku Tahafut
al-Tahafut ini telah memengaruhi para filosof Barat
untuk mengkritik doktrin Gereja yang sangat dominan.
Dari sinilah filsafat pencerahan itu dimulai. Memang
Barat tidak berhenti pada Ibnu Rushd, tapi
mengembangkannya lebih maju lagi. Lha kalau Islam
malah ingin membuang filsafatnya, bagaimana Islam bisa
maju? tanya Zainun sinis. Seharusnya kita yang
mengembangkan, tegas Doktor yang menulis disertasi
tentang Ibnu Rushd mengakhiri pembicaraannya.
www.putrajagatonline.blogspot.com
Catatan Kaki:
  1. Al-Ghazali. Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. Cetakan I, 1409 H / 1988 M.
  2. Al-Gazali, Kasyf Ulum al-Akhirah, Berwisata ke Alam Ruh. Penerbit Marja', Bandung. Cetakan I, Dzulhijjah 1424 H / Januari 2004 M.
  3. Al-Gazali, Ihya Ulumuddin (pranala unduhan, unduhan 5.33 MB).
  4. Al-Gazali, The Alchemy of Happiness. Translator: Claud Field (1863-1941). Northbrook Society. 1909.
  5. Al-Gazali, Marmura. Al-Ghazali The Incoherence of the Philosophers (2nd edition). Printing Press, Brigham. ISBN 0-8425-2466-5.
Sumber Buku:
  • Laoust, H: La politique de Gazali, 1970.
  • Campanini, M.: Al-Ghazzali, in S.H. Nasr and O. Leaman, History of Islamic Philosophy 1996.
  • Watt, W M.: Muslim Intellectual: A Study of al-Ghazali, Edinburgh 1963.
Sumber Situs:

http://www.putrjagatonline.blogspot.com
http://www.ghazali.org/articles/gz1.htm

http://www.id.wikipedia.org/wiki/Al-Ghazali
http://www.muslim.or.id/biografi/sejarah-hidup-imam-al-ghazali-2.htm
http://www.manakib.wordpress.com/2007/11/01/pertanyaan-imam-al-gazali

http://www.mail-archive.com/baraya_sunda@yahoogroups.com/msg01893.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar